Senin, 07 Juli 2008

demi cinta dan masa depan

Selasa malam (1 Februari 2005),

Setelah hujan lebat mengguyur Jakarta , gerimis masih turun. Saya pacu motor
dengan cepat dari kantor disekitar Blok-M menuju rumah di Cimanggis-Depok.
Kerja penuh seharian membuat saya amat lelah hingga di sekitar daerah
Cijantung mata saya sudah benar-benar tidak bisa dibuka lagi. Saya
kehilangan konsentrasi dan membuat saya menghentikan motor dan melepas
kepenatan di sebuah shelter bis di seberang Mal Cijantung. Saya lihat jam
sudah menunjukan pukul 10.25 malam. Keadaan jalan sudah lumayan sepi. Saya
telpon isteri saya kalau saya mungkin agak terlambat dan saya katakan alasan
saya berhenti sejenak.

Setelah saya selesai menelpon baru saya menyadari kalau disebelah saya ada
seorang ibu muda memeluk seorang anak lelaki kecil berusia sekitar 2 tahun.
Tampak jelas sekali mereka kedinginan. Saya terus memperhatikannya dan tanpa
terasa airmata saya berlinang dan teringat anak saya (Naufal) yang baru
berusia 14 bulan. Pikiran saya terbawa dan berandai-andai, "Bagaimana
jadinya jika yang berada disitu adalah isteri dan anak saya?"

Tanpa berlama-lama saya dekati mereka dan saya berusaha menyapanya. "Ibu,
kalau mau ibu boleh ambil jaket saya, mungkin sedikit kotor tapi masih
kering. Paling tidak anak ibu tidak kedinginan" Saya segera membuka raincoat
dan jaket saya, dan langsung saya berikan jaket saya. Tanpa bicara, ibu
tersebut tidak menolak dan langsung meraih jaket saya. Pada saat itu saya
baru sadar bahwa anak lelakinya benar-benar kedinginan dan giginya
bergemeletuk.

"Tunggu sebentar disini bu!" pinta saya. Saya lari ke tukang jamu yang tidak
jauh dari shelter itu dan saya meminta air putih hangat padanya. Dan
Alhamdulillah, saya justeru mendapatkan teh manis hangat dari tukang jamu
tersebut dan segera saya kembali memberikannya kepada ibu tersebut. "Ini bu,
.... kasih ke anak ibu!" selanjutnya mereka meminumnya berdua.

Saya tunggu sejenak sampai mereka selesai. Saya hanya diam memandangi lalu
lalang kendaraan yang lewat.
"Bapak, terima kasih banyak, mau menolong saya" sesaat kemudian ibu tersebut
membuka percakapan.
"Ah, tidak apa-apa, ngomong-ngomong ibu pulang kemana?" Tanya saya

Saya tinggal di daerah Bintaro tapi (dia menghentikan bicaranya), Bapak
pulang bekerja ?" dia balas bertanya.
"Ya" jawab saya singkat.

"Kenapa sampai larut malam pak, memangnya anak isteri bapak tidak menunggu?
Tanyanya lagi. Saya diam sejenak karena agak terkejut dengan pertanyaannya.
"Terus terang bu, sebenarnya selama ini saya merasa bersalah karena terlalu
sering meninggalkan mereka berdua. Tapi mau bilang apa, masa depan mereka
adalah bagian dari tanggung jawab saya. Saya hanya berharap semoga Allah
terus menjaga mereka ketika saya pergi." Mendengar jawaban saya si ibu
terisak, saya jadi serba salah. "Bu, maafkan saya kalau saya salah omong."
"Pak kalau boleh saya minta uang seratus ribu, kalau bapak berkenan?"
Pintanya dengan sedih dan sopan. Airmatanya berlinang sambil mengencangkan
pelukan ke anak lelakinya.

Karena perasaan bersalah, saya segera keluarkan uang limapuluh-ribuan 2
lembar dan saya berikan padanya. Dia berusaha meraih dan ingin mencium
tangan saya, tetapi cepat-cepat saya lepaskan. "ya sudah, ibu ambil saja
tidak usah dipikirkan!" saya berusaha menjelaskannya. "Pak kalau jas
hujannya saya pakai bagaimana? Badan saya juga benar-benar kedinginan dan
kasihan anak saya" kembali ibu tersebut bertanya dan sekarang membuat saya
heran. Saya bingung untuk menjawabnya dan juga ragu memberikannya. Pikiran
saya mulai bertanya-tanya, Apakah ibu ini berusaha memeras saya dengan apa
yang ditampilkannya di hadapan saya? tapi saya entah mengapa saya
benar-benar harus meng-ikhlas-kannya. Maka saya berikan raincoat saya dan
kali ini saya hanya tersenyum tidak berkata sepatahpun.

Tiba-tiba anaknya menangis dan semakin lama semakin kencang. Ibu tersebut
sangat berusaha menghiburnya dan saya benar-benar bingung sekarang harus
berbuat apa? Saya keluarkan handphone saya dan saya pinjamkan pada anak
tersebut. Dia sedikit terhibur dengan handphone tersebut, mungkin karena
lampunya yang menyala. Saya biarkan ibu tersebut menghibur anaknya memainkan
handphone saya. Sementara itu saya berjalan agak menjauh dari mereka. Badan
dan pikiran yang sudah lelah membuat saya benar-benar kembali tidak dapat
berkonsentrasi.

Mungkin sekitar 10 menit saya hanya diam di shelter tersebut memandangi lalu
lalang kendaraan. Kemudian saya putuskan untuk segera pulang dan
meninggalkan ibu dan anaknya tersebut. Saya ambil helm dan saya nyalakan
motor, saya pamit dan memohon maaf kalau tidak bisa menemaninya. Saya
jelaskan kalau isteri dan anak saya sudah menunggu dirumah. Ibu itu
tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada saya. Dia meminta no telpon
rumah saya dan saya tidak menjawabnya, saya benar-benar lelah sekali dan
saya berikan saja kartu nama saya. Sesaat kemudian saya lanjutkan perjalanan
saya.

Saya hanya diam dan konsentrasi pada jalan yang saya lalui. Udara
benar-benar terasa dingin apalagi saat itu saya tidak lagi mengenakan jaket
dan raincoat ditambah gerimis kecil sepanjang jalan. Dan ketika sampai di
depan garasi dan saya ingin menelpon memberitahukan ke isteri saya kalau
saya sudah di depan rumah saya baru sadar kalau handphone saya tertinggal
dan masih berada di tangan anak tadi. Saya benar-benar kesal dengan
kebodohan saya. Sampai di dalam rumah saya berusaha menghubungi nomor
handphone saya tapi hanya terdengar nada handphone dimatikan. "Gila. Saya
benar-benar goblok, tidak lebih dari 30 menit saya kehilangan handphone dan
semua didalamnya" dengan suara tinggi, saya katakan itu kepada isteri saya
dan dia agak tekejut mendengarnya. Selanjutnya saya ceritakan pengalaman
saya kepadanya. Isteri saya berusaha menghibur saya dan mengajak saya agar
meng-ikhlaskan semuanya. "Mungkin Allah memang menggariskan jalan seperti
ini. Sudahlah sana mandi dan shalat dulu, kalau perlu tambah shalat
shunah-nya biar bisa lebih ikhlas" dia menjelaskan. Saya segera melakukannya
dan tidur.

Keesokan paginya saya terpaksa berangkat kerja membawa mobil padahal hal ini
saya tidak terlalu saya suka. Saya selalu merasa banyak waktu terbuang jika
bekerja membawa mobil ketimbang naik motor yang bisa lebih cepat mengatasi
kemacetan. Kalaupun saya bawa motor saya khawatir hujan karena kebetulan
saya tidak ada cadangan jaket dan raincoat juga sudah saya berikan kepada
ibu dan anak tadi malam. Setelah mengantar isteri yang kerja di salah satu
bank swasta di sekitar depok saya langsung menuju kantor tetapi pikiran saya
terus melanglang buana terhadap kejadian tadi malam. Saya belum benar-benar
meng-ikhlaskan kejadian tadi malam bahkan sesekali saya mengumpat dan
mencaci ibu dan anak tersebut didalam hati karena telah menipu saya.

Sampai di kantor, saya kaget melihat sebuah bungkusan besar diselimuti
kertas kado dan pita berada di atas meja kerja saya. Saya tanya ke office
boy, siapa yang mengantar barang tersebut. Dia hanya menjawab dengan
tersenyum kalau yang mengantar adalah supirnya ibu yang tadi malam, katanya
bapak kenal dengannya setelah pertemuan semalam bahkan dia menambahkan
kelihatannya dari orang berada karena mobilnya mercy yang bagus.

"Bapak selingkuh ya, pagi-pagi sudah dapat hadiah dari perempuan ?" tanyanya
sedikit bercanda kepada saya. Saya hanya tersenyum dan saya menanyakan
apakah dia ingat plat nomor mobil orang tersebut, office boy tersebut hanya
menggelengkan kepala ....

Segera saya buka kotak tersebut dan "Ya Allah, semua milik saya kembali.
Jaket, raincoat, handphone, kartu nama dan uangnya. Yang membuat saya
terkejut adalah uang yang dikembalikan sebesar 2 juta rupiah jauh melebihi
uang yang saya berikan kepadanya. Dan juga selembar kertas yang tertulis ;

"Pak, terima kasih banyak atas pertolongannya tadi malam. Ini saya
kembalikan semua yang saya pinjam dan maafkan jika saya tidak sopan. Kemarin
saya sudah tidak tahan dan mencoba lari dari rumah setelah saya bertengkar
hebat dengan suami saya karena beliau sering terlambat pulang ke rumah
dengan alasan pekerjaan. Bodohnya, dompet saya hilang setelah saya
berjalan-jalan dengan anak saya di Mall Cijantung. Sebenarnya saya semalam
ingin melanjutkan perjalanan ke rumah kakak saya di Depok, tetapi saya jadi
bingung karena tidak ada lagi uang untuk ongkos makanya saya hanya berdiam
di halte bis itu. Setelah saya bertemu dan melihat bapak tadi malam, saya
baru menyadari bahwa apa yang suami saya lakukan adalah demi cinta dan masa
depan isteri dan anaknya juga. Salam dari suami saya untuk bapak. Salam juga
dari kami sekeluarga untuk anak-isteri bapak di rumah. Suami saya berharap,
biarlah bapak tidak mengetahui identitas kami dan biarlah menjadi pelajaran
kami berdua . (Bye, maaf handphone bapak terbawa dan saya juga lupa
mengembalikannya tadi malam karena saya sedang larut dalam kesedihan).
Terima kasih."

Segera saya telpon isteri saya dan saya ceritakan semua yang ada dihadapan
saya. Isteri saya merasa bersyukur dan meminta agar semua uangnya diserahkan
saja ke mesjid terdekat sebagai amal ibadah keluarga tersebut.

Label: ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda