Senin, 28 April 2008

cerpen : hari hari yg kujalani tetap menjadi milikku

tap menjadi milikAKU tetap bunga seperti yang kau kenal dulu. Mungkin tak seranum kala warnaku mulai merekah dan menebar aroma wangi. Suatu pesona yang memikatmu kala pertama kau memandangku. Di pagi hari bersamaan dengan kemilau sinar mentari yang terbiaskan oleh butiran embun di kelopakku. Memang, kini aku tak seputih melati atau seelok pelangi seperti dulu kau panggil aku.

"Kau akan menyesal, Mas."

"Kenapa?" Bima memandang lekat wajah gadis di depannya. Sorot matanya tajam mencari jawab atas misteri yang memenuhi pikirannya.

"Aku bukan Sabila yang dulu pernah kau kagumi. Waktu telah membawa kita pada tempat yang berbeda. Tak pantas rasanya aku berada disampingmu lagi. Aku telah...."

"Cukup. Percayalah, apa pun yang pernah kau alami, kau tetap bunga yang menghiasi taman hatiku. Menjadi penyejuk di saat hatiku gersang dan penyambung semangat hidupku."

"Tapi, Mas."

"Bila, sampai kapanpun keberadaanmu tak akan pernah tergantikan. Aku ingin merajut kembali asa yang sempat terkoyak bersamamu."

Suasana berubah haru. Aku tak mampu menatap matanya. Ketulusannya menerima apa adanya diriku membuat hatiku luluh. Hatiku serasa terbasuh oleh air telaga. Kubiarkan air mata ini mengalir membanjiri kedua belah pipiku. Mungkin hanya menangislah yang mampu aku lakukan. Sungguh, mengucap sepatah kata pun aku tak bisa. Lidahku serasa kelu.

Gerimis malam itu terus berjatuhan. Menjadi nyanyi sunyi di antara gelap malam. Berpadu dengan rinai air mataku. Puncak dari sebuah penyesalan. Aku gadis kampung yang kini sudah kehilangan kekampungannya. Keputusanku menjadi tenaga kerja di luar negeri mengantarkanku pada kehidupan gemerlap. Dunia baru yang tak pernah terbayang sebelumnya, bahkan dalam mimpi sekalipun.

Demi mewujudkan sebongkah mimpi yang pernah tergenggam, aku rela meninggalkan tanah kelahiran dan sanak keluarga di kampung. Di negeri seberang yang penuh impian, di sana sejuta harapan kulabuhkan. Bayang-bayang kehidupan yang lebih baik seakan nyata di depan mata. Sayang, semua hanya bayang-bayang yang tak selamanya bisa tergapai. Khayalan kerja enak dengan gaji besar ternyata pupus sebelum berkembang, yang ada hanya ratapan nestapa dengan serangkaian sesal.

***

Sengaja kulempar pandangan jauh keluar. Menikmati rintik-rintik air hujan dari balik jendela kapal. Ada kesedihan yang mengimpit dadaku. Luka yang dulu telah kering seakan berdarah kembali. Kenangan pahit selama di negeri seberang terlintas diingatan. Hari-hari di mana matahari tak bersinar dan angin berhenti berembus. Dunia yang semula penuh canda tawa tiba-tiba berubah sunyi tanpa suara. Jiwa terasa mati suri dan raga bagai boneka yang bisa dimainkan semua orang.

Aku baru sadar kalau telah masuk perangkap setelah agen yang membawaku menyerahkanku pada seorang warga keturunan. Setibanya di ibu kota negara tetangga tersebut aku disekap dalam penampungan. Tempat yang sebenarnya tak layak huni. Ruangannya sempit, pengap dan usang. Rupanya sudah banyak TKW asal Indonesia yang lebih dulu tertampung di sini, bahkan ada yang sudah bertahun-tahun. Dari wajah mereka kudapatkan isyarat keputusasaan. Sedih, sesal dan bosan mengkristal seiring bergulirnya waktu. Terpaksa menjalani kehidupan dengan segala keterbatasan, bak seekor pipit dalam sangkar baja.

Janji manis untuk mempekerjakanku di sebuah industri tekstil ternyata hanya umpan belaka. Biaya yang semula diminta untuk mengurus paspor dan surat izin pun tak tahu ke mana larinya. Aku seperti buronan di negeri orang. Diperbudak tanpa bisa melawan. Bagaimana tidak, keberadaanku yang ilegal ini menempatkanku pada kondisi serbasalah. Mau kabur dari penampungan pasti aku ditangkap polisi yang rutin melakukan razia. Di negeri ini petugas keamanannya tak kenal ampun. Apalagi pemerintah setempat sedang gencar-gencarnya mendeportasi para imigran gelap, termasuk aku.

Dengan linangan air mata terpaksa kujalani profesi nista ini. Kurelakan mahkota yang bertahun-tahun aku jaga dirampas begitu saja. Hari itu lilin di hatiku benar-benar padam. Andai tak takut bertambah dosa, sudah kucukupkan hidupku di dunia. Apalah artinya hidup jika tanpa harapan. Kukuatkan hatiku menerima cobaan ini. Ada satu keyakinan yang mampu membuatku bertahan: Tuhan tidak akan membebani hambaNya di luar batas kemampuan yang ia miliki. Aku yakin suatu saat aku bisa keluar, tak selamanya badai bertiup.

Kenekatanku bekerja di luar negeri karena impitan ekonomi keluarga yang tak kunjung selesai. Keluargaku terbelit utang setelah ayah memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa. Semua sawah dan tabungan ludes. Kekuasaan telah membuat ayah lupa diri. Ia bayar orang-orang suruhan untuk mempengaruhi warga agar mau memilihnya. Berbagai cara ditempuh, tak peduli harus mempertaruhkan semua harta yang ada. Sayang, dalam pemilihan ayah kalah. Di mata warga ayah memang bukanlah sosok pemimpin yang ideal.

Kekalahan ini membuat ayah frustrasi. Mungkin karena ia belum bisa menerima kenyataan. Ia jadi sakit-sakitan. Kondisi ini membuat beban keluarga jadi semakin bertambah. Selain untuk kebutuhan hidup sehari-hari, kami harus mengeluarkan uang ekstra untuk biaya pengobatan ayah. Belum lagi biaya sekolah kedua adikku dan tagihan utang yang harus dibayar setiap bulan. Keluargaku benar-benar kehilangan tulang punggung. Kesehatan ayah yang semakin menurun memaksa ibu bekerja serabutan. Pekerjaan kasar yang dulu tak pernah ibu sentuh terpaksa ia kerjakan. Itu semata-mata untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Sebagai anak pertama aku tak bisa tinggal diam. Perih rasanya jika harus melihat ibu yang sudah setua itu diangkut truk menuju perkebunan kopi. Berangkat dipagi buta dan pulang menjelang magrib bersama buruh petik kopi lainnya. Bekerja sebagai buruh cuci baju pun sempat aku lakoni. Sampai akhirnya aku bertemu dengan Joni, agen TKI yang menawariku bekerja di luar negeri. Saat itu aku tak sempat berpikir panjang. Mendengar iming-iming akan mendapat upah besar, aku semakin tergiur. Apalagi kedua orang tuaku pun ikut mendukung. Di tengah kesulitan ekonomi, kami saling patungan untuk membiayai keberangkatanku ke luar negeri. Tabungan yang aku sisihkan untuk bekal berkeluarga dengan Mas Bima terpaksa diambil. Kekurangannya kami pinjam dari beberapa saudara dekat.

Semua berharap padaku. Setidaknya dari upah itu nantinya aku bisa melunasi hutang dan membantu biaya sekolah kedua adikku. Keberangkatanku pun diwarnai tangis haru. Begitu berat mereka melepasku. Untuk terakhir kali kupandangi wajah-wajah polos penuh harap itu. Sebuah pengingat yang kelak bisa menjadi penyemangatku selama di luar negeri.

Ternyata tak selamanya mimpi itu indah. Bukannya upah yang aku peroleh, melainkan siksaan dan perlakukan yang tak manusiawi. Bertahun-tahun aku bekerja seperti sapi perahan, berpindah dari satu "tangan" ke "tangan" yang lain. Memang untuk itu aku dibayar mahal, tapi bukan aku yang menerima hasilnya. Pengelola penampunganlah yang tertawa di antara rintihan tangisku. Saat itu semua impian sirna sudah. Bermacam cara aku lakukan agar bisa keluar tapi selalu gagal. Penampungan selalu dijaga ketat. Tak mudah melewati mereka. Akhirnya takdir menuntunku meninggalkan tempat ini. Aku bisa kabur di saat penjagaan lengah.

"Minumlah dulu, barangkali bisa sedikit menenangkan pikiranmu." Suara Bima membuyarkan lamunanku. Ia duduk di sampingku seraya menyodorkan segelas air putih.

"Makasih. Sebenarnya aku malu, aku sudah terlalu banyak merepotkan Mas."

"Tidak. Semua yang aku lakukan tidak ada artinya dibandingkan dengan kehadiranmu."

"Ah, Mas." Sekali lagi kutatap bola matanya yang bersinar hangat. Ada kebahagiaan terpancar di sana. Entah mengapa ia masih saja seperti dulu, sama seperti diawal kami merajut cinta. Lima tahun lamanya kami saling setia sampai akhirnya kuputuskan untuk menjadi TKW di luar negeri.

"Kenapa kita tidak menikah saja?"

Sabila menarik napas dalam-dalam, menahannya, dan melepasnya perlahan.

"Untuk apa. Aku tak mau membawamu larut dalam persoalanku. Biarlah keadaan ini tetap menjadi milikku, bagian dari hidupku."

"Izinkan aku menjadi setengah jiwamu. Dermaga tempat di mana kau labuhkan sampan cintamu. Saat gelombang dan badai kehidupan memorak-morandakan semua mimpimu. Di sana dadaku terbentang luas, ladang di mana kita bisa menyemaikan benih cinta kita."

"Sssstttt." Sabila meletakkan jarinya di bibir Bima. Ia biarkan Bima meraih jemari itu dan mengecupnya. Saat itu Sabila merasakan betapa tulusnya cinta Bima. Sebuah pengharapan yang membawa keteduhan bagi hatinya yang gersang akan kasih.

Ah andai semua masih seperti dulu. Andai dokter tak memvonis umurku sepanjang hitungan jari tangan. Dan andai penyakit "memalukan" ini tak hinggap ditubuhku. Sudah barang tentu akan kubalas cinta Bima. Tapi kini, semua itu tak mungkin untuk dijalani. Aku hanya akan menjadi aib. Biarlah kujalani takdir hidupku meski tanpa cintanya. Pertemuan di kapal itu menjadi pertemuan terakhirku dengan Bima. Sengaja aku menghindar darinya. Hanya kukirimkan sebuah pesan pendek agar melupakanku. Aku tak ingin melihatnya bertambah sakit ketika harus mengetahui keadaanku sebenarnya. Belum ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit yang aku derita.

Sambil kupaksa untuk terus melupakan Bima, aku mulai menyiapkan diri menghadapi keluargaku. Aku sadar kehadiranku akan membawa suka dan duka. Masih jelas diingatanku bagaimana kondisi ekonomi keluargaku saat kutinggalkan. Belum lagi berbagai utang yang pembayarannya menunggu kedatanganku. Tapi kini, yang aku bawa bukanlah uang melainkan aib dan penyakit. Meski tak pantas jika harus menyalahkan takdir yang membawaku pada alur lain yang tak dapat kuhindari.

***

Begitu cepat waktu berlalu. Hitungan jari tangan telah habis atas masanya. Sabila tak lagi menangis. Ia berhenti merintih. Koma menghilangkan rasa sakit yang dialaminya. Mungkin tak sampai senja baginya untuk menutup mata. Ia akan pergi. Menunggu Bima di ruang yang berbeda. Di sana cinta abadi dan mimpinya akan tercapai.

Label:

0 Komentar:

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda